Back To Top
Komplek Perguruan Terpadu, Jl. K.H Ahmad Dahlan KM. 4 RT.03 No.51 Kelurahan. Mangkol Kecamatan. Pangkalan Baru Kabupaten. Bangka Tengah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Telp/Fax. 0717-431 771 Email : stkip.mbb@gmail.com Website : www.stkipmbb.com
::: website stkipmbb.com beralih menjadi stkipmbb.ac.id ::: CEK LIST KELENGKAPAN BERKAS UNTUK UJIAN PROPOSAL, YUDISIUM dan DATA PENDUKUNG LAINNYA DAPAT DILIHAT DI MENU UNDUHAN::: UNTUK SAAT INI SIAKAD SUDAH DAPAT DIAKSES KEMBALI ::: INFORMASI SURAT KETERANGAN YANG DIKELUARKAN LSIK DAPAT DILIHAT DIMENU UNDUHAN ::: JADWAL UJIAN SKRIPSI DAPAT DILIHAT DI PENGUMUMAN ::: INFORMASI PENTING : SEGALA PENGUMUMAN & AGENDA YANG BERKAITAN DGN KEGIATAN KEMAHASISWAAN/KAMPUS DAPAT DILIHAT PADA MENU INFORMASI
Loading...


Selasa, 09 April 2013

TAWURAN PELAJAR: BUKAN SALAH MATA PELAJARAN

Sungguh ironi kondisi pendidikan Nasional saat ini, kurang lebih satu minggu belakangan gencar diberitakan di media mengenai tawuran pelajar SMP, SMA, bahkan sampai perguruan tinggi. Tawuran pelajar yang baru-baru ini terjadi di Jakarta sampai memakan korban jiwa. Walaupun kedua sekolah telah berkomitmen untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut, akan tetapi sulit diprediksi apakah tawuran pelajar ini tidak akan terulang kembali dimasa yang akan datang mengingat intensitas tawuran pelajar ini hampir setiap tahun terjadi. Suka atau tidak suka, inilah potret buram pendidikan kita saat ini yang kurang mampu memberikan layanan pendidikan khususnya yang berkaitan dengan aspek pengembangan kepribadian siswa. Institusi sekolah seharusnya tidak hanya menjadi alat pembebasan manusia dari kebodohan, tetapi lebih dari itu untuk menghantarkan manusia menjadi mahluk yang bermartabat. Adanya konflik horizontal ini praktis mengubah wajah dan kesan masyarakat Indonesia yang dulunya ramah-tamah menjadi bangsa yang tidak memiliki stabilitas emosi dan budi pekerti.

Titik Lemah Pendidikan Indonesia Refleksi tentang penurunan watak bangsa Indonesia menunjukkan adanya kesalahan dalam pendidikan kita. Menurut Arief Rachman kegagalan pendidikan di Indonesia diantaranya dapat dilihat dari keberhasilan pendidikan yang hanya diukur dari apsek kognitif dan nyaris tidak mengukur aspek efektif dan psikomotorik sehingga pembinaan watak dan budi pekerti terabaikan. Ukuran keberhasilan pendidikan selama ini hanya didasarkan pada aspek kuantitatif (angka-angka), seperti nilai raport, nilai UN, atau perolehn kursi di perguruan tinggi. Padahal untuk mewujudkan cita-cita bangsa melalui tujuan pendidikan Nasional membentuk manusia seutuhnya, aspek afektif (sikap dan kepribadian) dan psikomotorik (skill) dimasukkan dalam kriteria keberhasilan disamping nilai akademis yang baik.

Bukan Hanya Tanggung Jawab Guru BK Selain itu, gagalnya lembaga pendidikan mengemban visi bangsa ini untuk mewujudkan kepribadian siswa juga dapat dilihat dari kurang berperannya guru Bimbingan Konseling (BK) dalam membimbing siswa. Terkadang sering terjadi salah paham antara siswa dan orang tua siswa dalam melihat fungsi dan tugas guru BK yang hanya menangani siswa-siswa yang bermasalah saja. Persepsi ini keliru, tugas guru BK itu harusnya tidak hanya menangani siswa-siswa yang bermasalah saja seperti, berkelahi, tawuran antar pelajar, atau bolos sekolah, akan tetapi tugas guru BK juga memberikan layanan konseling siswa dalam hal pengembangan potensi dan minat bakat siswa. Jadi, penanganan konseling siswa tidak hanya sebatas menangani siswa yang bermasalah tetapi siswa yang tidak terlibat penyimpangan di sekolah pun menjadi perhatian guru BK. Tetapi dalam implementasinya, sampai dengan saat ini persepsi siswa mengenai guru BK masih banyak terkesan negatif, takut, dan malu untuk menemui guru BK dikarenakan sigma yang selama ini dibangun bahwa guru BK itu hanya menangani siswa-siswa yang bermasalah.

Oleh karenanya, kepala sekolah dalam hal ini perlu berkoordinasi dengan guru BK dalam rangka memberikan pemahaman fungsi dan tugas guru BK kepada siswa dan orang tua siswa agar tidak terjadi salah paham. Pihak sekolah juga seharusnya secara khusus membuat program terkait dengan layanan konseling siswa yang bersifat reguler. Untuk mewujudkan program ini tentunya tidak hanya dibebankan pada guru BK saja, tetapi guru Agama, PKN, atau Budi Pekerti dapat menjadi mitra guru BK dalam menjalankan program konseling siswa dalam aspek afektif (kepribadian). Dalam aspek kognitif dan psikomotor guru BK juga dapat bermitra dengan guru mata pelajaran lainnya dalam rangka pengembangan minat dan bakat siswa. Dengan mengoptimalkan peran guru BK beserta mitra kerjanya tersebut, diharapkan aktivitas belajar siswa di sekolah dapat diamati secara komprehensif, shingga pengembangan intelektual dapat berjalan seimbang dengan pembengunan watak serta kepribadian siswa.

Pendidikan Keluarga Menjadi Pilar Utama Menyimak persoalan tawuran antar pelajar yang kerap terjadi akhir-akhir ini tentu tidak hanya menjadi perhatian pihak sekolah semata, tetapi orang tua siswa dalam hal ini punya peran sentral dalam membimbing anak-anak mereka. Pendidikan keluarga, sebagai bentuk pendidikan informal akan memberikan pedoman kepada anak bagaimana seharusnya bersikap dan bertingkah laku setelah mereka keluar dari rumah atau di masyarakat. Itupun jika orang tua punya kimitmen dan paham seperti apa seharusnya mendidik anak. Seringkali yang terjadi adalah, orang tua beranggapan bahwa sekolah dan guru lah yang punya tanggung jawab mendidik dan membentuk moral serta kepribadian anak. Sehingga jika terjadi misalnya tawuran pelajar pihak sekolah dan orang tua saling tuding siapa yang seharusnya bertanggung jawab. Saya pikir, tindakan yang bijak dari kedua belah pihak adalah tidak saling menyalahkan dan menyadari fungsi dan tanggung jawab masing-masing.

Aktivitas anak disekolah secara kuantitas sangatlah terbatas, sehingga dapat dipahami bahwa jika pihak sekolah dan guru dibebankan tugas mengajar dan mendidik sekian ratus siswa di sekolah tentu tidak akan terakomodir. Apalagi rasio jumlah guru lebih sedikit dibandingkan jumlah siswa. Dengan kondisi seperti ini, terkadang guru tidak bisa sepenuhnya mengawasi sikap dan tingkahlaku siswa secara personal. Oleh karena itu, peran pendidikan di keluarga seharusnya turut berperan dan dapat memberikan kontribusi dalam mendidik anak. Dalam hal ini saya berharap orang tua menyadari fungsi dan peran mereka akan pentingnya membimbing anak dengan membekali mereka melalui nilai-nilai agama dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Menurut hemat saya, pendidikan keluarga lah yang mempunyai peran utama dalam membentuk kepribadian anak dan sekolah hanya sebagai tempat kedua bagi anak untuk mengembangkan potensi serta bakat mereka. Walaupun di sekolah juga diajarkan nilai-nilai keluhuran, tetapi saya pikir porsi ini perlu di bantu dengan peran orang tua di dalam keluarga.

Mengubah Paradigma Pendidikan Kenakalan di kalangan remaja/pelajar akhir-akhir ini disikapi beragam oleh beberapa kalangan, tidak sedikit dari mereka yang menganggap bahwa kenakalan remaja seperti tawuran pelajar disebabkan karena jumalah jam mata pelajaran Agama yang diajarkan di sekolah terlalu singkat. Satu minggu rata-rata hanya dua jam yang diberikan oleh pihak sekolah. Begitu juga dengan mata pelajaran PKN atau mata pelajaran Budi Pekerti. Asumsi ini ada benarnya juga, tetapi kurang tepat juga jika pihak sekolah berencana menambah jumlah jam pelajaran Agama dan Budi Pekerti lebih banyak. Karena persoalannya adalah bukan salah pada mata pelajaran yang terlalu sedikit, tetapi praktik pengajaran di sekolah tidak diarahkan untuk mempersiapkan siswa menghadapi realitas sosial. Menurut Paulo Freire pendidikan harus dapat mengintegrasikan realitas sosial dan menjadi agen untuk melakukan perubahan sosial guna membentuk masyarakat baru. Dalam hal ini siswa tidak hanya diberikan contoh-contoh, teori-teori, sekaligus rumus-rumus tetapi juga disertai laku-laku pemahaman (act of cognition). Menerjemahkan muatan dan isi pelajaran ke dalam realitas sosial barangkali menjadi entry point dari pendidikan hadap masalah. Freire menambahkan, praktik pendidikan yang terjadi selama ini selalu tidak sejalan dengan kenyataan yang dihadapi oleh siswa. Padahal proses pendidikan sesungguhnya dijalankan dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan akan sumber daya manusia yang (minimal) sanggup menyelesaikan persoalan lokal yang melingkupinya.

Kondisi sekolah-sekolah kita saat ini hanya mampu menerjemahkan pendidikan sebagai sekedar transfer of knowledge yang dimiliki guru kepada siswa. Model pendidikan seperti ini hanya membebani siswa dengan teori untuk menjawab soal ujian, tetapi tidak mampu menerjemahkannya pada realitas sosial. Pendidikan menjadi tercerabut dari problem rill yang seharusnya mereka jawab. Praktik pendidikan yang terus berlangsung seperti inilah diduga menjadi salah satu penyebab gagalnya sekolah dalam mendidik siswanya untuk menjawab persoalan di masyarakat. Tawuran pelajar yang seringkali terjadi sedikit banyak mengindikasikan bahwa sebagian siswa tidak mampu menerjemahkan materi pelajaran yang diajarkan di sekolah kedalam persoalan realitas yang berkembang di masyarakat. Oleh karena itu, saya kurang sepakat jika ada beberapa kalangan yang memberikan solusi untuk nenambah jam pelajaran Agama maupun Budi Pekerti. Hal ini akan sia-sia belaka, jika guru juga tidak mampu untuk menggiring siswa memahami dirinya sendiri dan realitas sosial.


Oleh: Dinar Pratama, M.Pd
Dosen STKIP Muhammadiyah Babel

1 komentar:

Memang benar pak, saya sepakat tentang artikel bapak, tawuran pelajar memang bukan karena mata pelajaran yang keliru, tetapi karena adanya HAM yang mengakibatkan adanya tawuran antar pelajar, kalau kita larang tawuran itu kan melanggar HAM, jadi tawuran itu memang hak para pelajar untuk berekspresi..., saat ini guru saja tidak bisa memberikan sanksi yang mendidik..., contoh seorang guru menyuruh anak maju kedepan mengerjakan soal matematika, anak tersebut tidak tahu, kita dikenakan HAM, krena sudah membuat anak nangis..., seorang ibu yang melahirkannya juga kalau memberi nasehat dan anak tersebut tidak terima sudah melanggar HAM... coba ikak pikir....